Artikel Karya Ilmiah Remaja » Karya Ilmiah Remaja (KIR)
KARYA ILMIAH
PERAN HUTAN DALAM MEREDUKSI
PEMANASAN GLOBAL
PERAN HUTAN DALAM MEREDUKSI
PEMANASAN GLOBAL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat-Nya penulis masih diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.
Pemanasan global yang terjadi merupakan dampak dari semakin majunya teknologi yang diikuti dengan penggunaan ahan bakar berbasis fosil, peralatan perang, dan lain sebagainya yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya gas rumah kaca.
Tingginya kandungan CO2, CH4, CFC, dll dalam atmostir bumi menyebabkan peningkatan suhu bumi yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran iklim yang sulit diprediksi. Kerusakan hutan khususnya akibat kebakaran erat kaitannya dengan sumbangsih Indonesia pada efek pemanasan global tersebut. Kajian pemanasan global ini penting untuk memberi masukan bagi kita akan pentingnya kelestarian hutan dalam rangka mereduksi efek tersebut.
Pada kesempatan ini penulis berhasrat ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu penyediaan literatur yang diperlukan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan-tulisan berikutnya. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat-Nya penulis masih diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.
Pemanasan global yang terjadi merupakan dampak dari semakin majunya teknologi yang diikuti dengan penggunaan ahan bakar berbasis fosil, peralatan perang, dan lain sebagainya yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya gas rumah kaca.
Tingginya kandungan CO2, CH4, CFC, dll dalam atmostir bumi menyebabkan peningkatan suhu bumi yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran iklim yang sulit diprediksi. Kerusakan hutan khususnya akibat kebakaran erat kaitannya dengan sumbangsih Indonesia pada efek pemanasan global tersebut. Kajian pemanasan global ini penting untuk memberi masukan bagi kita akan pentingnya kelestarian hutan dalam rangka mereduksi efek tersebut.
Pada kesempatan ini penulis berhasrat ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu penyediaan literatur yang diperlukan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan-tulisan berikutnya. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Medan, Mei 2007
Budi Utomo
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………….. i
DAFTAR TABEL ………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………….. iv
PENDAHULUAN …………………………………. 1
PEMANASAN GLOBAL …………………………….. 4
Perubahan peruntukan lahan…………………….. 7
Intensitas karbon dan emisi per-kapita …………. 8
Dampak yang terjadi ………………………….. 9
Pencegahan ………………………………….. 11
MENGURANGI GAS RUMAH KACA …………………….. 13
Alternatif penganggulangan ……………………. 13
Moratorium ………………………………….. 15
PUSTAKA …………………………………….. 16
Halaman
KATA PENGANTAR……………………………….. i
DAFTAR TABEL ………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………….. iv
PENDAHULUAN …………………………………. 1
PEMANASAN GLOBAL …………………………….. 4
Perubahan peruntukan lahan…………………….. 7
Intensitas karbon dan emisi per-kapita …………. 8
Dampak yang terjadi ………………………….. 9
Pencegahan ………………………………….. 11
MENGURANGI GAS RUMAH KACA …………………….. 13
Alternatif penganggulangan ……………………. 13
Moratorium ………………………………….. 15
PUSTAKA …………………………………….. 16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pembukaan areal pertanian yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan……… 7
2. Uji coba penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biodiesel) di Indonesia… 11
Halaman
1. Pembukaan areal pertanian yang melibatkan kegiatan pembakaran hutan……… 7
2. Uji coba penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biodiesel) di Indonesia… 11
PENDAHULUAN
Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hutan alam tropis terluas di dunia, memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, sehingga dijuluki “Zamrud Khatulistiwa” dan diharapkan mampu menjadi “penjaga” keseimbangan keberlangsungan dan kelestarian ekosistem bumi, posisi Indonesia kini justru sangat mengenaskan.
Secara tragis, Indonesia kini justru dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia yang salah satu dampaknya menimbulkan perubahan iklim yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia di planet Bumi ini. Ini bisa terjadi karena, jujur saja, akibat perilaku buruk kita dalam mengelola alam Indonesia.
Laporan ilmiah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan di Paris, 2 Februari 2007, secara tegas menyebutkan besarnya polah manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Menurut laporan ini, sebagaimana disiarkan organisasi lingkungan hidup Indonesia, Pelangi, memberikan kemungkinan sampai 90 persen bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim itu. Ini lebih tinggi daripada laporan terakhir pada 2001 yang menyebutkan bahwa kemungkinannya hanya 66 persen.
Menurut IPCC, konsentrasi gas-gas karbondioksida (CO2), metana, dan dinitrogen oksida (N20), meningkat pesat sejak 1750 sehingga konsentrasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum era industri. Peningkatan konsentrasi CO2 terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomis, sementara aktivitas pertanian menyebabkan peningkatan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida.
Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hutan alam tropis terluas di dunia, memiliki keanekaragaman hayati tertinggi, sehingga dijuluki “Zamrud Khatulistiwa” dan diharapkan mampu menjadi “penjaga” keseimbangan keberlangsungan dan kelestarian ekosistem bumi, posisi Indonesia kini justru sangat mengenaskan.
Secara tragis, Indonesia kini justru dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia yang salah satu dampaknya menimbulkan perubahan iklim yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia di planet Bumi ini. Ini bisa terjadi karena, jujur saja, akibat perilaku buruk kita dalam mengelola alam Indonesia.
Laporan ilmiah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dikeluarkan di Paris, 2 Februari 2007, secara tegas menyebutkan besarnya polah manusia sebagai penyebab perubahan iklim. Menurut laporan ini, sebagaimana disiarkan organisasi lingkungan hidup Indonesia, Pelangi, memberikan kemungkinan sampai 90 persen bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab perubahan iklim itu. Ini lebih tinggi daripada laporan terakhir pada 2001 yang menyebutkan bahwa kemungkinannya hanya 66 persen.
Menurut IPCC, konsentrasi gas-gas karbondioksida (CO2), metana, dan dinitrogen oksida (N20), meningkat pesat sejak 1750 sehingga konsentrasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum era industri. Peningkatan konsentrasi CO2 terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomis, sementara aktivitas pertanian menyebabkan peningkatan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim atau cuaca di Indonesia khususnya di Sumatera Utara belakangan ini makin meningkat. Namun sejauh pengamatan lebih banyak musim panas dibandingkan musim hujan. Hal ini terlihat dari beberapa bulan terakhir selalu terjadi musim panas. Bila terjadi hujan tidak berlangsung lama dan kemudian kembali panas.
Ironisnya pada musim panas ini suhu udara bisa mencapai 35 oC. Akibatnya banyak
warga yang merasa kegerahan bahkan bisa menyebabkan suatu penyakit karena kondisi tubuh yang tidak stabil. Menurut BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika)
Wilayah Medan salah satu pengaruh perubahan iklim di Medan bisa jadi karena makin meningkatnya suhu udara dari 30 tahun terakhir ini sekitar 0.3 (nol poin tiga) – 0.85 oC. Jadi sejak 30 tahun ini ada peningkatan rata-rata dari suhu udara.
Selain itu, ada juga peningkatan jumlah curah hujan yang naik. Karena itu kalau suhu udara semakin meningkat maka dari pertumbuhan awan juga makin tinggi sehingga jumlah curah hujan bila kita lihat lima tahun terakhir ini dibanding rata-rata juga cukup meningkat dari curah hujan yang turun untuk di wilayah Sumatera Utara.
“Contohnya saja di stasiun Sampali, Polonia dan Sibolga. Kecendrungan curah hujannya menjadi naik,” katanya.
Namun secara global, kalau kita lihat dari data IPCC (Inter Governmental Thanel on Climat Change) yang memantau dari peningkatan suhu global dunia, juga mengalami peningkatan suhu udara. Hal itu disebabkan karena pengaruh banyaknya CO2 yang ada ada di angkasa sehingga menyebabkan gas rumah kaca (GRK) sehingga ada perubahan iklim yang tidak menentu.
Perubahan iklim seperti itu kadang di suatu daerah bisa menyebabkan banjir yang besar karena curah hujannya tinggi, tapi daerah lain menjadi kondisinya sangat kering. Hal itu mungkin dari salah satu efek pemanasan global dalam skala dunia. Sedangkan kalau yang di wilayah Sumatera Utara sebenarnya dalam posisi musim kemarau. Mungkin karena kondisi efek global iklim yang sudah tidak berubah, sehingga ketika musim kemarau terasa sangat panas.
Di wilayah Sumut ada dua kali musim kemarau dan dua kali musim penghujan.
Untuk musim kemarau terjadi Januari-Maret dan Juni-Juli. Dan kebetulan bulan ini jatuh pada musim kemarau, namun perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan kadangkadang hujan dan panas. Sedangkan musim penghujan April-Mei dan September-Desember. Terjadinya dua kali musim kemarau dan dua kali musim penghujan menurut Syafril, karena dua kali dilewati matahari. Namun kadang kala ada sedikit keterlambatan atau kecepatan sehingga menyebabkan perubahan iklim tidak menentu. Sebagai contoh, tahun 2006 kemarin terjadi keterlambatan musim hujan sampai pertengahan Januari. Jadi sampai pertengahan akhir Maret Sumatera Utara masih terasa kering. Hal itu, karena keterlambatan musim kemarau. Pada pertengahan Januari hujannya cukup banyak, sehingga kalau dilihat sekarang pertumbuhan awannya berada di Jawa. Namun sekarang mulai balik lagi ke wilayah Sumatera Barat, kemudian di sepanjang pantai Barat dan laut Jawa, tapi garis pertumbuhan awannya belum stabil.
Menyikapi perubahan iklim atau cuaca ini, pihak BMG sendiri memberikan informasi. Artinya BMG memberikan informasi prakiraan musim yakni musim kemarau maupun hujan, sehingga masyarakat tinggal mengantisipasi misalnya bertanam atau merencanakan pembangunan sesuai dengan prakiraan itu.
Selain itu juga BMG menggunakan prakiraan bulanan. Misalnya bulan ini cuaca normal atau di bawah normal, sektor pertanian atau untuk bidang-bidang peternakan bisa menyesuaikan dengan kondisi cuaca tersebut.
Perubahan iklim atau cuaca di Indonesia khususnya di Sumatera Utara belakangan ini makin meningkat. Namun sejauh pengamatan lebih banyak musim panas dibandingkan musim hujan. Hal ini terlihat dari beberapa bulan terakhir selalu terjadi musim panas. Bila terjadi hujan tidak berlangsung lama dan kemudian kembali panas.
Ironisnya pada musim panas ini suhu udara bisa mencapai 35 oC. Akibatnya banyak
warga yang merasa kegerahan bahkan bisa menyebabkan suatu penyakit karena kondisi tubuh yang tidak stabil. Menurut BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika)
Wilayah Medan salah satu pengaruh perubahan iklim di Medan bisa jadi karena makin meningkatnya suhu udara dari 30 tahun terakhir ini sekitar 0.3 (nol poin tiga) – 0.85 oC. Jadi sejak 30 tahun ini ada peningkatan rata-rata dari suhu udara.
Selain itu, ada juga peningkatan jumlah curah hujan yang naik. Karena itu kalau suhu udara semakin meningkat maka dari pertumbuhan awan juga makin tinggi sehingga jumlah curah hujan bila kita lihat lima tahun terakhir ini dibanding rata-rata juga cukup meningkat dari curah hujan yang turun untuk di wilayah Sumatera Utara.
“Contohnya saja di stasiun Sampali, Polonia dan Sibolga. Kecendrungan curah hujannya menjadi naik,” katanya.
Namun secara global, kalau kita lihat dari data IPCC (Inter Governmental Thanel on Climat Change) yang memantau dari peningkatan suhu global dunia, juga mengalami peningkatan suhu udara. Hal itu disebabkan karena pengaruh banyaknya CO2 yang ada ada di angkasa sehingga menyebabkan gas rumah kaca (GRK) sehingga ada perubahan iklim yang tidak menentu.
Perubahan iklim seperti itu kadang di suatu daerah bisa menyebabkan banjir yang besar karena curah hujannya tinggi, tapi daerah lain menjadi kondisinya sangat kering. Hal itu mungkin dari salah satu efek pemanasan global dalam skala dunia. Sedangkan kalau yang di wilayah Sumatera Utara sebenarnya dalam posisi musim kemarau. Mungkin karena kondisi efek global iklim yang sudah tidak berubah, sehingga ketika musim kemarau terasa sangat panas.
Di wilayah Sumut ada dua kali musim kemarau dan dua kali musim penghujan.
Untuk musim kemarau terjadi Januari-Maret dan Juni-Juli. Dan kebetulan bulan ini jatuh pada musim kemarau, namun perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan kadangkadang hujan dan panas. Sedangkan musim penghujan April-Mei dan September-Desember. Terjadinya dua kali musim kemarau dan dua kali musim penghujan menurut Syafril, karena dua kali dilewati matahari. Namun kadang kala ada sedikit keterlambatan atau kecepatan sehingga menyebabkan perubahan iklim tidak menentu. Sebagai contoh, tahun 2006 kemarin terjadi keterlambatan musim hujan sampai pertengahan Januari. Jadi sampai pertengahan akhir Maret Sumatera Utara masih terasa kering. Hal itu, karena keterlambatan musim kemarau. Pada pertengahan Januari hujannya cukup banyak, sehingga kalau dilihat sekarang pertumbuhan awannya berada di Jawa. Namun sekarang mulai balik lagi ke wilayah Sumatera Barat, kemudian di sepanjang pantai Barat dan laut Jawa, tapi garis pertumbuhan awannya belum stabil.
Menyikapi perubahan iklim atau cuaca ini, pihak BMG sendiri memberikan informasi. Artinya BMG memberikan informasi prakiraan musim yakni musim kemarau maupun hujan, sehingga masyarakat tinggal mengantisipasi misalnya bertanam atau merencanakan pembangunan sesuai dengan prakiraan itu.
Selain itu juga BMG menggunakan prakiraan bulanan. Misalnya bulan ini cuaca normal atau di bawah normal, sektor pertanian atau untuk bidang-bidang peternakan bisa menyesuaikan dengan kondisi cuaca tersebut.
planet bumi bakal mengalami kenaikan suhu rata-rata 3,5 oC memasuki abad mendatang sebagai efek akumulasi penumpukan gas tersebut. Akibat yang muncul cukup mencemaskan antara lain meliputi : kenaikan permukaan laut akibat proses pencairan es di kutub; perubahan pola angin; meningkatnya badai atmosferik; bertambahnya populasi dan jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada kesehatan; perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi serta perubahan ekosistem hutan, daratan dan ekosistem lainnya.
Para pakar lingkungan dunia selama bertahun-tahun telah mencoba mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena alam ini, dan hasilnya cukup mengejutkan yaitu, iklim mulai tidak stabil. Pada Juni 1998 di Tibet terjadi gelombang udara panas, temperatur berkisar 25 oC selama 23 hari, kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara yang dikenal udaranya sangat membekukan tulang kini mulai menghangat.
Sementara Kairo pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 41 oC.
Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan curah hujan mencapai tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko dan
Spanyol terjadi musim kering berkepanjangan akibat dipicu oleh badai tropis yang berujung pada terbakarnya hutan dengan luasan kumulatif mencapai jutaan hektar. Kemudian, naiknya permukaan air laut di beberapa kawasan Asia dilaporkan bahwa air laut telah meluap melampaui batas air payau dan memusnahkan areal hutan bakau di kawasan tersebut.
Sementara di Fiji terjadi penyusutan garis pantai sepanjang 15 cm per tahun selama 90 tahun terakhir Berdasarkan hasil penelitian IPCC (1990) permukaan air laut telah naik sekitar 10-20 cm pada masa abad terakhir ini. Bila angka kenaikan permukaan air laut ini sampai menyentuh kisaran angka 20-50 cm maka habitat di daerah pantai akan mengalami gangguan bahkan musnah.
Sedangkan peningkatan sebesar 1 meter diprediksi akan mampu menggusur puluhan juta orang akibat terendamnya kota dan desa dikawasan pesisir, lahan pertanian produktif akan hancur terendam dan persediaan air tawar akan tercemar.
Perlu dilakukan tindakan menyeluruh disertai komitmen yang kuat untuk menghentikan meluasnya wabah bencana Secara sederhana tindakan yang bisa dilakukan adalah:
Pengembangan etika hemat energi dan ramah lingkungan. Budaya penghematan energi terutama yang terkait dengan energi yang dihasilkan dari bahan fosil (BBM) harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
Dalam bidang transportasi misalnya pemakaian kendaraan bermotor yang boros bahan bakar hendaknya semakin dikurangi yang juga dibarengi dengan upaya perancangan peraturan secara ketat untuk mengurangi pencemaran udara dalam berbagai bentuk.
Upaya penghematan pemakaian listrik konsumsi rumah tangga perlu terus diupayakan terutama bila pembangkit listriknya mempergunakan bahan bakar diesel/batu bara. Sebagai konsumen kita harus kritis melakukan penolakan untuk mempergunakan barang konsumsi dan peralatan yang masih mempergunakan CFC dalam produknya karena saat kita memakainya tak ubahnya kita menyediakan tali untuk menjerat leher kita sendiri di masa mendatang. Bahan CFC banyak dijumpai pada peralatan pendingin (Kulkas, AC) serta tabung penyemprot parfum.
Substitusi Bahan Bakar. Penggunaan gas alam dalam aktivitas rumah tangga maupun industri ternyata berperan cukup nyata dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca. Gas alam menghasilkan CO2 temyata 40 persen lebih rendah dibanding batu bara dan 25 persen lebih rendah daripada minyak bumi sehingga dengan menukar sumber bahan bakar kita bisa mengurangi tingkat emisi gas CO2.
Pelestarian Hutan dan Reboisasi. Keberadaan hutan ternyata berfungsi luar biasa dalam menyerap gas CO2 sehingga dapat memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menyerap 10 persen emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini diperlukan upaya penanaman setidaknya pada areal seluas negara Turki. Seandainya saja setiap jiwa di Sumatera Utara (jumlah penduduk Sumut sekitar 12 juta jiwa) menaman satu batang pohon maka setidaknya ada 12 juta pohon yang terhampar menjadi satu kawasan hutan baru yang akan mampu menyerap jutaan ton carbon.
Suatu jumlah yang cukup berarti bagi upaya pelestarian bumi. Perlu komitmen secara global untuk mengurangi kerusakan hutan akibat eksploitasi hutan maupun kebakaran hutan dan menggiatkan upaya reboisasi pada lahan kosong.
Kekeringan akibat kemarau berkepanjangan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim secara global. Sebenamya masih banyak langkah-langkah antisipatif yang dapat dilakukan terutama dalam tatanan kebijakan nasional dalam rangka mencegah pemanasan global, namun semuanya berpulang kembali kepada kesadaran kita semua selaku individu.
Kini saatnya berpartisipasi secara aktif bagi bumi yang telah memberikan kehidupan bagi kita. Bumi ini hanya satu mari kita menjaganya karena hal itu hanya akan mendatangkan bencana bagi penghuninya termasuk anak cucu kita. Mari kita wariskan bumi yang bersih dan generasi mendatang.
Para pakar lingkungan dunia selama bertahun-tahun telah mencoba mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena alam ini, dan hasilnya cukup mengejutkan yaitu, iklim mulai tidak stabil. Pada Juni 1998 di Tibet terjadi gelombang udara panas, temperatur berkisar 25 oC selama 23 hari, kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kawasan Siberia, Eropa Timur dan Amerika Utara yang dikenal udaranya sangat membekukan tulang kini mulai menghangat.
Sementara Kairo pada Agustus 1998 tercatat suhu udara menembus angka 41 oC.
Pada Agustus 1998 di Sidney Australia terjadi badai besar disertai hujan dengan curah hujan mencapai tiga kali ukuran normal. Sementara di Indonesia, Meksiko dan
Spanyol terjadi musim kering berkepanjangan akibat dipicu oleh badai tropis yang berujung pada terbakarnya hutan dengan luasan kumulatif mencapai jutaan hektar. Kemudian, naiknya permukaan air laut di beberapa kawasan Asia dilaporkan bahwa air laut telah meluap melampaui batas air payau dan memusnahkan areal hutan bakau di kawasan tersebut.
Sementara di Fiji terjadi penyusutan garis pantai sepanjang 15 cm per tahun selama 90 tahun terakhir Berdasarkan hasil penelitian IPCC (1990) permukaan air laut telah naik sekitar 10-20 cm pada masa abad terakhir ini. Bila angka kenaikan permukaan air laut ini sampai menyentuh kisaran angka 20-50 cm maka habitat di daerah pantai akan mengalami gangguan bahkan musnah.
Sedangkan peningkatan sebesar 1 meter diprediksi akan mampu menggusur puluhan juta orang akibat terendamnya kota dan desa dikawasan pesisir, lahan pertanian produktif akan hancur terendam dan persediaan air tawar akan tercemar.
Perlu dilakukan tindakan menyeluruh disertai komitmen yang kuat untuk menghentikan meluasnya wabah bencana Secara sederhana tindakan yang bisa dilakukan adalah:
Pengembangan etika hemat energi dan ramah lingkungan. Budaya penghematan energi terutama yang terkait dengan energi yang dihasilkan dari bahan fosil (BBM) harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
Dalam bidang transportasi misalnya pemakaian kendaraan bermotor yang boros bahan bakar hendaknya semakin dikurangi yang juga dibarengi dengan upaya perancangan peraturan secara ketat untuk mengurangi pencemaran udara dalam berbagai bentuk.
Upaya penghematan pemakaian listrik konsumsi rumah tangga perlu terus diupayakan terutama bila pembangkit listriknya mempergunakan bahan bakar diesel/batu bara. Sebagai konsumen kita harus kritis melakukan penolakan untuk mempergunakan barang konsumsi dan peralatan yang masih mempergunakan CFC dalam produknya karena saat kita memakainya tak ubahnya kita menyediakan tali untuk menjerat leher kita sendiri di masa mendatang. Bahan CFC banyak dijumpai pada peralatan pendingin (Kulkas, AC) serta tabung penyemprot parfum.
Substitusi Bahan Bakar. Penggunaan gas alam dalam aktivitas rumah tangga maupun industri ternyata berperan cukup nyata dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca. Gas alam menghasilkan CO2 temyata 40 persen lebih rendah dibanding batu bara dan 25 persen lebih rendah daripada minyak bumi sehingga dengan menukar sumber bahan bakar kita bisa mengurangi tingkat emisi gas CO2.
Pelestarian Hutan dan Reboisasi. Keberadaan hutan ternyata berfungsi luar biasa dalam menyerap gas CO2 sehingga dapat memperlambat penimbunan gas-gas rumah kaca. Penelitian menunjukkan bahwa untuk menyerap 10 persen emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini diperlukan upaya penanaman setidaknya pada areal seluas negara Turki. Seandainya saja setiap jiwa di Sumatera Utara (jumlah penduduk Sumut sekitar 12 juta jiwa) menaman satu batang pohon maka setidaknya ada 12 juta pohon yang terhampar menjadi satu kawasan hutan baru yang akan mampu menyerap jutaan ton carbon.
Suatu jumlah yang cukup berarti bagi upaya pelestarian bumi. Perlu komitmen secara global untuk mengurangi kerusakan hutan akibat eksploitasi hutan maupun kebakaran hutan dan menggiatkan upaya reboisasi pada lahan kosong.
Kekeringan akibat kemarau berkepanjangan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim secara global. Sebenamya masih banyak langkah-langkah antisipatif yang dapat dilakukan terutama dalam tatanan kebijakan nasional dalam rangka mencegah pemanasan global, namun semuanya berpulang kembali kepada kesadaran kita semua selaku individu.
Kini saatnya berpartisipasi secara aktif bagi bumi yang telah memberikan kehidupan bagi kita. Bumi ini hanya satu mari kita menjaganya karena hal itu hanya akan mendatangkan bencana bagi penghuninya termasuk anak cucu kita. Mari kita wariskan bumi yang bersih dan generasi mendatang.
Perubahan Peruntukan Lahan
Terkait fenomena di atas, sejauh mana sebenarnya “sumbangsih” Indonesia bagi terjadinya perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan nasib manusia di bumi ini.
Sebuah penelitian yang dilakukan Pew Center dalam perubahan iklim global bertajuk Climate Data: Insights and Observations yang dikeluarkan pada Desember 2004, dapat menjadi gambaran posisi negeri khatulistiwa ini. Misalnya dalam perubahan penggunaan lahan (land use change). Dalam skala global, penelitian yang melibatkan World Resources Institute ini, jumlah CO2 dari aspek ini perkirakan mencapai 18 persen dari total emisi tahunan. Penyebabnya antara lain akibat industri hutan, pembersihan dan pengelolaan lahan untuk pertanian. CO2 dari perubahan peruntukan lahan ini merupakan sepertiga dari total emisi dari negara berkembang dan lebih dari persennya berasal dari negara dunia ketiga.
Sebuah penelitian yang dilakukan Pew Center dalam perubahan iklim global bertajuk Climate Data: Insights and Observations yang dikeluarkan pada Desember 2004, dapat menjadi gambaran posisi negeri khatulistiwa ini. Misalnya dalam perubahan penggunaan lahan (land use change). Dalam skala global, penelitian yang melibatkan World Resources Institute ini, jumlah CO2 dari aspek ini perkirakan mencapai 18 persen dari total emisi tahunan. Penyebabnya antara lain akibat industri hutan, pembersihan dan pengelolaan lahan untuk pertanian. CO2 dari perubahan peruntukan lahan ini merupakan sepertiga dari total emisi dari negara berkembang dan lebih dari persennya berasal dari negara dunia ketiga.
Gambar
Peringkat suatu negara dalam penghitungan emisi global ini sangat tergantung kepada jenis gas yang dihitung. Jika dihitung dari sumbangsihnya akibat perubahan peruntukan lahan dan gas non CO2, maka Indonesia berada di posisi keempat.
Indonesia hanya berada di peringkat ke-25 dalam total emisinya jika dilihat dari sumbangsih CO2 akibat penggunaan bahan bakar fosil. Nasib sama juga dialami Brazil, yang jika dengan penghitungan perubahan peruntukan lahan dan gas non CO2, negara ini naik dari peringkat ke-17 menjadi peringkat kelima. “Bersama-sama, kedua negara mengumpulkan kira-kira 50 persen dari total perkiraan emisi CO2 global tahunan dari perubahan peruntukan lahan,” sebut hasil penelitian ini.
Intensitas Karbon dan Emisi per-Kapita Intesintas karbon, yaitu tingkat emisi CO2 per unit dari keluaran ekonomi (economic output), di Indonesia juga meningkat. Sepanjang 1990-2000, intensitas karbon di Indonesia, bersama-sama dengan Arab Saudi, Ukraina dan Brazil, naik secara signifikan.
Untuk emisi per kapita, “sumbangsih” Indonesia bersama-sama negara-negara lain juga memprihatinkan. Empat negara berkembang terbesar, yakni China, India, Indonesia dan Brazil, yang memiliki sekitar 44 persen populasi dunia, menyumbang sekitar 24 persen emisi global.
Memang, harus diakui, emisi per kapita ini memiliki keterkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara. Artinya, makin sejahtera rakyat suatu negara, maka tingkat rata-rata emisi per orang makin tinggi. Namun, seperti disimpulkan dari penelitian ini juga, jika ditambahkan dengan CO2 akibat perubahan peruntukan lahan, maka lagi-lagi Indonesia dan Brazil memiliki tingkat emisi per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa. Akhirnya, jika dihitung emisi kumulatifnya, yaitu “sumbangsih” suatu negara dalam perubahan iklim secara keseluruhan dibandingkan emisinya pada suatu waktu, posisi Indonesia juga menyesakkan dada.
Hasil penelitian Pew Center ini menjelaskan, “Pertumbuhan paling dramatis dalam sejarah pembagian adalah pada negara-negara tropis yang merupakan produsen besar kayu. Brazil dan Indonesia, dengan 0,9 persen dan 0,5 persen untuk emisi kumulatif bahan bakar fosil-berturut-turut-melompat hingga ke 6,2 persen dan 7,2 persen-berturut-turutdengan penambahan CO2 dari perubahan peruntukan lahan.”
Indonesia sulit untuk membantah hasil penelitian ini. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan hasil penelitian ini terus terjadi. Kebakaran hutan dan pembakaran lahan hampir selalu terjadi setiap tahun. Menyedihkannya lagi, kasus kebakaran hutan dan pembakaran lahan ini sampai-sampai merepotkan dan menyengsarakan negaranegara tetangga Indonesia yang pada akhirnya membuat citra negeri berlimpah sumber daya alam ini, makin terpuruk. Selain itu, berbagai fenomena bencana alam, yang diduga erat berkaitan dengan akibat terjadinya perubahan iklim juga makin sering menimpa berbagai daerah di Indonesia. Banjir bandang, tanah longsor, badai tropis, musim hujan dan musim kering yang makin sulit diprediksi, adalah sedikit gambaran lain dari pengaruh perubahan iklim itu. Secara global, laporan ilmiah IPCC pada Februari 2007 juga mengungkapkan beberapa temuan yang memprihatinkan terkait perubahan iklim itu. Penemuan itu, misalnya, pada periode1850-2005 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76 derajat Celcius dan 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006) merupakan tahun-tahun dengan rata-rata suhu terpanas sejak dilakukannya pengukuran suhu pertama kali pada 1850. Kemudian, telah terjadi kenaikan permukaan laut global rata-rata sebesar 1,8 meter per tahun dan antara periode 1961-2003 telah terjadi kekeringan yang lebih intensif pada wilayah yang lebih luas sejak 1970-an, terutama di daerah tropis dan sub tropis. Sekadar tambahan, suhu udara di Medan yang saat ini (2007) diperkirakan lebih panas dan merupakan yang terpanas sejak 1987, kiranya juga harus dilihat dari kacamata perubahan iklim yang melanda Indonesia.
Dampak yang terjadi Sudah sejak lama para ahli mengkawatirkan efek yang timbul dari aktifitas manusia di permukaan bumi seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk kendaraan, proses industri, penyediaan listrik dan proses penebangan hutan yang dapat mengeluarkan sejumlah besar Gas Rumah Kaca (GRK) yang menutupi lapisan azon di atmosfer bumi. Semakin tebal GRK menutupi lapisan di atmosfer menyebabkan panas yang dipancarkan matahari ke bumi terperangkat. Akibatnya temperatur permukaan bumi perlahan-lahan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ternperatur ini disebut pemanasan global.
Terjadinya pemanasan global ditandai dengan terjadinya perubahan iklim yang secara cepat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungan, baik pada saat sekarang maupun waktu yang akan datang. Misalnya pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikkan suhu bumi rata-rata. Di Indonesia kenaikkan telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3 oC sejak tahun 1990, dan peningkatan ini diperkirakan akan terus terjadi. Selain itu akibat dari pemanasan global juga mempengaruhi kondisi hutan. Dengan perubahan iklim diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan. Beberapa spesies akan terancam punah karena tidak mampu beradaptasi, sedangkan spesies yang mampu bertahan akan berkembang tidak terkendali. Begitu juga dengan kebakaran hutan akibat terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan semakin tidak dapat terelakkan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang mengakibatkan mudah terbakar ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan.
Dampak lain dari pemanasan global juga terjadi pada pertanian karena adanya pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi dan lain sebagainya.
Meningkatnya frekwensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah juga terjadi dari pemanasan global. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebakan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembang biak lebih cepat.
Diperkirakan dengan adanya pemanasan global permukaan air laut mengalami peningkatan. Dan berbagai studi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikkan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Masih menurut IPCC, pada tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah antara 8-9 sentimeter dan permukaan laut saat ini. Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang. Apabila perkiraan IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang. Bukan itu saja, selain naiknya permukaan air laut, suhu air laut juga mengalami peningkatan sebesar 2-3 derajat celcius. Bila ini terjadi, alga yang merupakan sumber makanan akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih dan mati.
Pemutihan karang berimbas punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan. Padahal Indonesia mempunyai dari 1.650 jenis ikan karang, itu pun hanya yang terdaftar di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang berada di wilayah lainnya.
Pencegahan Dengan berbagai akibat perubahan iklim tersebut, tak terkecuali yang melanda Indonesia, yang lebih utama disebabkan oleh tingkah dan polah manusia, maka untuk memperbaikinya juga harus memperbaiki perlakuan manusia terhadap alam atau bumi secara global pula. Kita dituntut untuk mengubah gaya hidup kita yang selama ini tidak ramah kepada lingkungan hidup.
Indonesia hanya berada di peringkat ke-25 dalam total emisinya jika dilihat dari sumbangsih CO2 akibat penggunaan bahan bakar fosil. Nasib sama juga dialami Brazil, yang jika dengan penghitungan perubahan peruntukan lahan dan gas non CO2, negara ini naik dari peringkat ke-17 menjadi peringkat kelima. “Bersama-sama, kedua negara mengumpulkan kira-kira 50 persen dari total perkiraan emisi CO2 global tahunan dari perubahan peruntukan lahan,” sebut hasil penelitian ini.
Intensitas Karbon dan Emisi per-Kapita Intesintas karbon, yaitu tingkat emisi CO2 per unit dari keluaran ekonomi (economic output), di Indonesia juga meningkat. Sepanjang 1990-2000, intensitas karbon di Indonesia, bersama-sama dengan Arab Saudi, Ukraina dan Brazil, naik secara signifikan.
Untuk emisi per kapita, “sumbangsih” Indonesia bersama-sama negara-negara lain juga memprihatinkan. Empat negara berkembang terbesar, yakni China, India, Indonesia dan Brazil, yang memiliki sekitar 44 persen populasi dunia, menyumbang sekitar 24 persen emisi global.
Memang, harus diakui, emisi per kapita ini memiliki keterkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara. Artinya, makin sejahtera rakyat suatu negara, maka tingkat rata-rata emisi per orang makin tinggi. Namun, seperti disimpulkan dari penelitian ini juga, jika ditambahkan dengan CO2 akibat perubahan peruntukan lahan, maka lagi-lagi Indonesia dan Brazil memiliki tingkat emisi per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa. Akhirnya, jika dihitung emisi kumulatifnya, yaitu “sumbangsih” suatu negara dalam perubahan iklim secara keseluruhan dibandingkan emisinya pada suatu waktu, posisi Indonesia juga menyesakkan dada.
Hasil penelitian Pew Center ini menjelaskan, “Pertumbuhan paling dramatis dalam sejarah pembagian adalah pada negara-negara tropis yang merupakan produsen besar kayu. Brazil dan Indonesia, dengan 0,9 persen dan 0,5 persen untuk emisi kumulatif bahan bakar fosil-berturut-turut-melompat hingga ke 6,2 persen dan 7,2 persen-berturut-turutdengan penambahan CO2 dari perubahan peruntukan lahan.”
Indonesia sulit untuk membantah hasil penelitian ini. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan hasil penelitian ini terus terjadi. Kebakaran hutan dan pembakaran lahan hampir selalu terjadi setiap tahun. Menyedihkannya lagi, kasus kebakaran hutan dan pembakaran lahan ini sampai-sampai merepotkan dan menyengsarakan negaranegara tetangga Indonesia yang pada akhirnya membuat citra negeri berlimpah sumber daya alam ini, makin terpuruk. Selain itu, berbagai fenomena bencana alam, yang diduga erat berkaitan dengan akibat terjadinya perubahan iklim juga makin sering menimpa berbagai daerah di Indonesia. Banjir bandang, tanah longsor, badai tropis, musim hujan dan musim kering yang makin sulit diprediksi, adalah sedikit gambaran lain dari pengaruh perubahan iklim itu. Secara global, laporan ilmiah IPCC pada Februari 2007 juga mengungkapkan beberapa temuan yang memprihatinkan terkait perubahan iklim itu. Penemuan itu, misalnya, pada periode1850-2005 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76 derajat Celcius dan 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006) merupakan tahun-tahun dengan rata-rata suhu terpanas sejak dilakukannya pengukuran suhu pertama kali pada 1850. Kemudian, telah terjadi kenaikan permukaan laut global rata-rata sebesar 1,8 meter per tahun dan antara periode 1961-2003 telah terjadi kekeringan yang lebih intensif pada wilayah yang lebih luas sejak 1970-an, terutama di daerah tropis dan sub tropis. Sekadar tambahan, suhu udara di Medan yang saat ini (2007) diperkirakan lebih panas dan merupakan yang terpanas sejak 1987, kiranya juga harus dilihat dari kacamata perubahan iklim yang melanda Indonesia.
Dampak yang terjadi Sudah sejak lama para ahli mengkawatirkan efek yang timbul dari aktifitas manusia di permukaan bumi seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk kendaraan, proses industri, penyediaan listrik dan proses penebangan hutan yang dapat mengeluarkan sejumlah besar Gas Rumah Kaca (GRK) yang menutupi lapisan azon di atmosfer bumi. Semakin tebal GRK menutupi lapisan di atmosfer menyebabkan panas yang dipancarkan matahari ke bumi terperangkat. Akibatnya temperatur permukaan bumi perlahan-lahan terus mengalami peningkatan. Peningkatan ternperatur ini disebut pemanasan global.
Terjadinya pemanasan global ditandai dengan terjadinya perubahan iklim yang secara cepat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungan, baik pada saat sekarang maupun waktu yang akan datang. Misalnya pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikkan suhu bumi rata-rata. Di Indonesia kenaikkan telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3 oC sejak tahun 1990, dan peningkatan ini diperkirakan akan terus terjadi. Selain itu akibat dari pemanasan global juga mempengaruhi kondisi hutan. Dengan perubahan iklim diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan. Beberapa spesies akan terancam punah karena tidak mampu beradaptasi, sedangkan spesies yang mampu bertahan akan berkembang tidak terkendali. Begitu juga dengan kebakaran hutan akibat terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan semakin tidak dapat terelakkan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang mengakibatkan mudah terbakar ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan.
Dampak lain dari pemanasan global juga terjadi pada pertanian karena adanya pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi dan lain sebagainya.
Meningkatnya frekwensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah juga terjadi dari pemanasan global. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebakan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembang biak lebih cepat.
Diperkirakan dengan adanya pemanasan global permukaan air laut mengalami peningkatan. Dan berbagai studi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikkan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Masih menurut IPCC, pada tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah antara 8-9 sentimeter dan permukaan laut saat ini. Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang. Apabila perkiraan IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang. Bukan itu saja, selain naiknya permukaan air laut, suhu air laut juga mengalami peningkatan sebesar 2-3 derajat celcius. Bila ini terjadi, alga yang merupakan sumber makanan akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih dan mati.
Pemutihan karang berimbas punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan. Padahal Indonesia mempunyai dari 1.650 jenis ikan karang, itu pun hanya yang terdaftar di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang berada di wilayah lainnya.
Pencegahan Dengan berbagai akibat perubahan iklim tersebut, tak terkecuali yang melanda Indonesia, yang lebih utama disebabkan oleh tingkah dan polah manusia, maka untuk memperbaikinya juga harus memperbaiki perlakuan manusia terhadap alam atau bumi secara global pula. Kita dituntut untuk mengubah gaya hidup kita yang selama ini tidak ramah kepada lingkungan hidup.
Sebagai langkah pencegahan yang bisa dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim yang berakibat ekstrim itu adalah dengan mengurangi emisi GRK hasil aktivitas manusia. Caranya antara lain bisa dengan menggunakan bahan bakar dari sumber energi yang lebih bersih atau menggunakan sumber energi terbarukan. Biodiesel, gas, tenaga matahari atau biomassa merupakan sumber energi yang ramah terhadap lingkungan.
Sebuah penelitian di satu industri manufaktur di Cilegon, penggunaan gas bisa menurunkan emisi GRK di industri ini hingga sebesar 31 persen dibandingkan ketika menggunakan batubara. Langkah penting lainnya adalah Pemerintah Indonesia harus segera mengubah kebijakannya dalam pembangunan yang sedang dilakukan. Dalam setiap kebijakan ini, maka aspek lingkungan hidup mesti menjadi salah satu pertimbangan utama. Kemudian, secara global, negara ini juga harus lebih meningkatkan peran aktifnya dalam menjaga lingkungan hidup dunia dengan mengacu kepada Protokol Kyoto, yang sudah diratifikasi menjadi Undang-undang (UU) No 17/2004.
Bagi Indonesia, ini sangat penting. Karena ternyata, perubahan iklim tersebut akan berdampak sangat besar bagi Indonesia, seperti menurunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air dan meningkat dan meluasnya kasus penyakit. Semua langkah ini, implementasinya membutuhkan perilaku dan cara pandang lebih ramah terhadap alam. Jika perilaku dan pandangan terhadap alam masih seperti saat ini, maka bukan tidak mungkin negeri kita yang dulu dikenal sebagai negeri Zamrud Khatulistiwamenjadi sebuah negeri yang paling menderita akibat perubahan iklim tersebut.
Sebuah penelitian di satu industri manufaktur di Cilegon, penggunaan gas bisa menurunkan emisi GRK di industri ini hingga sebesar 31 persen dibandingkan ketika menggunakan batubara. Langkah penting lainnya adalah Pemerintah Indonesia harus segera mengubah kebijakannya dalam pembangunan yang sedang dilakukan. Dalam setiap kebijakan ini, maka aspek lingkungan hidup mesti menjadi salah satu pertimbangan utama. Kemudian, secara global, negara ini juga harus lebih meningkatkan peran aktifnya dalam menjaga lingkungan hidup dunia dengan mengacu kepada Protokol Kyoto, yang sudah diratifikasi menjadi Undang-undang (UU) No 17/2004.
Bagi Indonesia, ini sangat penting. Karena ternyata, perubahan iklim tersebut akan berdampak sangat besar bagi Indonesia, seperti menurunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air dan meningkat dan meluasnya kasus penyakit. Semua langkah ini, implementasinya membutuhkan perilaku dan cara pandang lebih ramah terhadap alam. Jika perilaku dan pandangan terhadap alam masih seperti saat ini, maka bukan tidak mungkin negeri kita yang dulu dikenal sebagai negeri Zamrud Khatulistiwamenjadi sebuah negeri yang paling menderita akibat perubahan iklim tersebut.
Berbagai bencana yang terjadi belakangan ini, mungkin bisa menyadarkan kita bahwa alam membutuhkan perlakuan setara, sebagai sahabatnya, dari manusia.
MENGURANGI GAS RUMAH KACA
Alternatif Penanggulangan
Dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global disebabkan adanya GRK dihasilkan dari aktifitas masyarakat, berbagai negara terus berupaya untuk menekan jumlah GRK yang dihasilkan dengan cara mencari berbagai alternatif seperti tidak mempergunakan minyak fosil secara berlebihan.
Salah satu upaya untuk menekan GRK, lahirnya konvensi perubahan iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro Brasil pada bulan Juni 1992 silam. Dan hasil konferensi tersebut telah disepati dan disyahkan perjanjian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk me ngadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan.
Sekedar menyegarkan ingatan, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (Konverensi Perubahan Iklim) dibuat berdasarkan gagasan dan program untuk menekan emisi GRK secara internasional sejak tahun 1979. Konverensi diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan mulai berlaku tanggal 21 Maret 1994.
Untuk Indonesia, pemerintah telah juga meratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Konvensi Perubahan Iklim adalah suatu perjanjian multi lateral untuk meningkatkan negara dalam upaya menurunkan emisi GRK untuk menjaga stabil itas konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat aman bagi sistem iklim di bumi.
Pertanyaanya, sudah sejauh mana negara Indonesia yang ikut dalam Konvensi Perubahan Iklim berupaya untuk mengurangi emisi GRK. Bila dilihat secara kasat mata, negara Indonesia masih belum mampu mengurangi emisi GRK. Besarnya GRK yang dihasilkan Indonesia dengan penggunaan bahan minyak fosil, tidaklah mengherankan bila Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil GRK terbesar.
Meski upaya untuk mengurangi GRK belum maksimal, bukan berarti upaya tersebut tidak dilakukan. Untuk menahan laju perubahan iklim yang sangat ditekankan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas, dengan cara beralih ke bahan bakar yang memiliki emisi yang lebih rendah seperti penggunaan gas dan energi dari sumber terbarukan, atau melakukan program efisiensi energi. Ini efektif dilakukan di sektor industri dan pembangkit listrik. Kedua sektor ini termasuk penghasil emisi GRK utama di Indonesia, dan memiliki konsumsi energi per kapita yang tinggi.
Menggantikan penggunaan batubara atau diesel menjadi gas bisa menghasilkan penurunan emisi GRK yang signifikan. Beralih menggunakan sumber energi terbarukan bisa mengurangi emisi GRK dalam jumlah yang lebih besar. Dengan semakin tingginya harga minyak bumi, sumber energi terbarukan menjadi pilihan yang semakin menarik.
Kerusakan hutan yang semakin parah dan diiringi dengan terjadinya musibah seperti banjir, tanah longsor yang beruntun dan merengut nyawa dalam jumlah cukup banyak berikut harta yang tak ternilai, merupakan persoaIan yang tidak kunjung tuntas.
Bukan itu saja, kekhawatiran pada penggundulan serta terjadinya pembakaran hutan yang berakibat meningkatnya suhu panas bumi, juga ikut menambah daftar persoalan yang muncul dan tidak mungkin dihindari.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, ternyata sejak tahun 1861 sebagai masa pertama pencatatan suhu bumi, maka rata-rata suhu global meningkat selama abad ke-20. Alhasil, keberadaan hutan kita sudah tidak dapat lagi menyuplai kebutuhan kayu untuk industri dan lain sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi, ternyata untuk Sumut sendiri, diperkirakan dari 3,7 Juta Hektar lahan hutan yang ada, maka setengahnya sudah rusak atau dalam kondisi kritis. Kalau kita tidak segera mengambil sikap tegas untuk mencegah perambahan, pembakaran atau penggundulan hutan, maka negeri ini akan tandus dan gersang yang dipastikan akan diikuti dengan berbagai bentuk bencana mengerikan. Bahkan sebelum itu semua terjadi, ada satu hal yang juga merisaukan kita, karena ternyata dalam catatan salah satu badan lingkungan dunia, ternyata Indonesia merupakan produsen ketiga terbesar penghasil gas emisi setelah USA dan China. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa, usaha untuk mengurangi produk karbon dioksida (CO2) dengan mencegah terjadinya pembakaran hutan menjadi salah satu solusi terbaik meredusir peningkatan emisi gas tersebut selain penghematan energi dan lain sebagainya.
Dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global disebabkan adanya GRK dihasilkan dari aktifitas masyarakat, berbagai negara terus berupaya untuk menekan jumlah GRK yang dihasilkan dengan cara mencari berbagai alternatif seperti tidak mempergunakan minyak fosil secara berlebihan.
Salah satu upaya untuk menekan GRK, lahirnya konvensi perubahan iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro Brasil pada bulan Juni 1992 silam. Dan hasil konferensi tersebut telah disepati dan disyahkan perjanjian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk me ngadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan.
Sekedar menyegarkan ingatan, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (Konverensi Perubahan Iklim) dibuat berdasarkan gagasan dan program untuk menekan emisi GRK secara internasional sejak tahun 1979. Konverensi diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan mulai berlaku tanggal 21 Maret 1994.
Untuk Indonesia, pemerintah telah juga meratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Konvensi Perubahan Iklim adalah suatu perjanjian multi lateral untuk meningkatkan negara dalam upaya menurunkan emisi GRK untuk menjaga stabil itas konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat aman bagi sistem iklim di bumi.
Pertanyaanya, sudah sejauh mana negara Indonesia yang ikut dalam Konvensi Perubahan Iklim berupaya untuk mengurangi emisi GRK. Bila dilihat secara kasat mata, negara Indonesia masih belum mampu mengurangi emisi GRK. Besarnya GRK yang dihasilkan Indonesia dengan penggunaan bahan minyak fosil, tidaklah mengherankan bila Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil GRK terbesar.
Meski upaya untuk mengurangi GRK belum maksimal, bukan berarti upaya tersebut tidak dilakukan. Untuk menahan laju perubahan iklim yang sangat ditekankan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas, dengan cara beralih ke bahan bakar yang memiliki emisi yang lebih rendah seperti penggunaan gas dan energi dari sumber terbarukan, atau melakukan program efisiensi energi. Ini efektif dilakukan di sektor industri dan pembangkit listrik. Kedua sektor ini termasuk penghasil emisi GRK utama di Indonesia, dan memiliki konsumsi energi per kapita yang tinggi.
Menggantikan penggunaan batubara atau diesel menjadi gas bisa menghasilkan penurunan emisi GRK yang signifikan. Beralih menggunakan sumber energi terbarukan bisa mengurangi emisi GRK dalam jumlah yang lebih besar. Dengan semakin tingginya harga minyak bumi, sumber energi terbarukan menjadi pilihan yang semakin menarik.
Kerusakan hutan yang semakin parah dan diiringi dengan terjadinya musibah seperti banjir, tanah longsor yang beruntun dan merengut nyawa dalam jumlah cukup banyak berikut harta yang tak ternilai, merupakan persoaIan yang tidak kunjung tuntas.
Bukan itu saja, kekhawatiran pada penggundulan serta terjadinya pembakaran hutan yang berakibat meningkatnya suhu panas bumi, juga ikut menambah daftar persoalan yang muncul dan tidak mungkin dihindari.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, ternyata sejak tahun 1861 sebagai masa pertama pencatatan suhu bumi, maka rata-rata suhu global meningkat selama abad ke-20. Alhasil, keberadaan hutan kita sudah tidak dapat lagi menyuplai kebutuhan kayu untuk industri dan lain sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi, ternyata untuk Sumut sendiri, diperkirakan dari 3,7 Juta Hektar lahan hutan yang ada, maka setengahnya sudah rusak atau dalam kondisi kritis. Kalau kita tidak segera mengambil sikap tegas untuk mencegah perambahan, pembakaran atau penggundulan hutan, maka negeri ini akan tandus dan gersang yang dipastikan akan diikuti dengan berbagai bentuk bencana mengerikan. Bahkan sebelum itu semua terjadi, ada satu hal yang juga merisaukan kita, karena ternyata dalam catatan salah satu badan lingkungan dunia, ternyata Indonesia merupakan produsen ketiga terbesar penghasil gas emisi setelah USA dan China. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa, usaha untuk mengurangi produk karbon dioksida (CO2) dengan mencegah terjadinya pembakaran hutan menjadi salah satu solusi terbaik meredusir peningkatan emisi gas tersebut selain penghematan energi dan lain sebagainya.
Moratorium
Terjadinya pembakaran serta penggundulan hutan secara besarbesaran menjadi pemicu utama kita meraih predikat buruk tersebut. Predikat ini tentu bertolak belakang dengan identitas yang melekat pada bumi Indonesia yang tersohor dengan hutannya.
Karenanya, pemerintah harus segera rnenerapkan Moratorium (jeda tebang-red) hutan untuk menghentikan segala bentuk pengrusakan yang masih terus berlangsung. Dengan jeda tebang tersebut, secara otomatis potensi hutan kita tidak akan terusik, yang berarti juga hutan akan membangun dirinya secara alami.
Terjadinya pembakaran serta penggundulan hutan secara besarbesaran menjadi pemicu utama kita meraih predikat buruk tersebut. Predikat ini tentu bertolak belakang dengan identitas yang melekat pada bumi Indonesia yang tersohor dengan hutannya.
Karenanya, pemerintah harus segera rnenerapkan Moratorium (jeda tebang-red) hutan untuk menghentikan segala bentuk pengrusakan yang masih terus berlangsung. Dengan jeda tebang tersebut, secara otomatis potensi hutan kita tidak akan terusik, yang berarti juga hutan akan membangun dirinya secara alami.
Walaupun konsep ini dinilai lambat, tapi jauh lebih efektif dari pada digalakkan reboisasi hutan, tapi ternyata konversi atau pengalihan fungsi hutan tidak dikendalikan.
Selain itu, upaya penegakan hukum yang dilakukan aparatur penegak hukum kita, seperti Operasi Hutan Lestari II tidak dilakukan secara seporadis. “Mustahil operasi tersebut maksimal kalau tidak dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Kalau dihitung-hitung upaya rehabilitasi maupun reboisasi ternyata tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan dan pengrusakan hutan.
Bukankah sudah cukup banyak kasus atau musibah yang terjadi karena pengrusakan hutan tersebut. Dan penting dicamkan, bahwa bencana tersebut akan berakibat orang lain yang ticiak berdosa ikut menjadi korban serta rnenanggung akibatnya. Bukan itu saja, karena bencana akan terus terjadi kalau alam serta hutan makin parah. Karena itu, seluruh masyarakat sebaiknya turut serta secara global untuk menjadikan hutan sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan diri kita sendiri.
Selain itu, upaya penegakan hukum yang dilakukan aparatur penegak hukum kita, seperti Operasi Hutan Lestari II tidak dilakukan secara seporadis. “Mustahil operasi tersebut maksimal kalau tidak dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Kalau dihitung-hitung upaya rehabilitasi maupun reboisasi ternyata tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan dan pengrusakan hutan.
Bukankah sudah cukup banyak kasus atau musibah yang terjadi karena pengrusakan hutan tersebut. Dan penting dicamkan, bahwa bencana tersebut akan berakibat orang lain yang ticiak berdosa ikut menjadi korban serta rnenanggung akibatnya. Bukan itu saja, karena bencana akan terus terjadi kalau alam serta hutan makin parah. Karena itu, seluruh masyarakat sebaiknya turut serta secara global untuk menjadikan hutan sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan diri kita sendiri.
PUSTAKA ACUAN
Malau F. 1 April 2007. Dicari alternatif mengurangi gas rumah kaca. Analisa: 16 (1-3).
Sukma GA. 1 April 2007. Wajah buruk Indonesia dalam perubahan iklim. Analisa:16 (1-3).
Purba JR. 2007. Moratorium hutan harus segera terlaksana. Analisa: 16 (4-5).
Pardede. JP. 22 Desember 2007. Ketika bumi makin panas. Analisa: 15 (1-3).
Bardaisyah. 8 Oktober 2007. peningkatan suhu udara sudah terjadi sejak 30 tahun terakhir. Analisa: 15 (1-3).
Malau F. 1 April 2007. Dicari alternatif mengurangi gas rumah kaca. Analisa: 16 (1-3).
Sukma GA. 1 April 2007. Wajah buruk Indonesia dalam perubahan iklim. Analisa:16 (1-3).
Purba JR. 2007. Moratorium hutan harus segera terlaksana. Analisa: 16 (4-5).
Pardede. JP. 22 Desember 2007. Ketika bumi makin panas. Analisa: 15 (1-3).
Bardaisyah. 8 Oktober 2007. peningkatan suhu udara sudah terjadi sejak 30 tahun terakhir. Analisa: 15 (1-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar